Bismillahhirrohmanirrohim...
Alhamdulillah, setelah memberi jeda diri pasca mengerjakan jurnal Kongres, kemudian berkoordinasi internal tim Puan Adaptif untuk mendiskusikan program dan jadwal rapat rutin yang baru, akhirnya hari ini (di hari terakhir deadline), aku bisa menyusun jurnal buddy review.
Mengapa ada perubahan jadwal rapat rutin?
Lagi-lagi aku merasakan keunikan tim Puan Adaptif, dan memang inilah tantangan para ibu rantau yang bergabung dengan komunitas yang basisnya ada di Indonesia. Tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian waktu. Jadi ceritanya jadwal rapat rutin tim kami adalah Jum‘at jam 19.30 WIB, dimana di jam tersebut -saat musim panas- di Eropa adalah jam 14.30 CEST sedangkan di Amerika khususnya El Paso (tempat tinggal salah satu anggota tim, mba Rohmah) adalah 05.30 MDT.
Nah, seiring berakhirnya Daylight Saving Time di Wina, Austria, kota dimana saya tinggal, maka selisih waktu antara waktu setempat dengan WIB menjadi enam jam, dimana saat jam 19.30 WIB artinya di sini jam 13.30 CET. Hari Jum‘at saya punya rutinitas untuk mengantarkan anak laki-laki berangkat ke masjid Indonesia untuk salat Jum‘at yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal. Untuk menuju ke masjid, kami butuh waktu sekitar 45 menit menggunakan kereta metro lanjut tram. Sedangkan salat Jum‘at saat ini dimulai pada jam 13.00 CET dengan durasi waktu sekitar 45 menit. Jam rapat yang bentrok dengan jam salat Jum‘at inilah yang membuat kami perlu mengganti jadwal untuk rapat rutin. Alhamdulillah jadwal yang baru sudah kami sepakati kemarin, yaitu Rabu jam 20.00 WIB.
Sekarang saatnya me-review jurnal buddy saya pekan ini. Siapakah beliau? Pekan ini saya mendapatkan rezeki buddy mba Niken Marettika Konrat yang berdomisili di Lampung dengan gerakan Kalkunkoe. Tim Kalkunkoe ini terdiri dari tim keluarga yang mana seluruh anggota timnya berada dalam satu rumah. Menarik, gerakan ibu pembaharu yang sekaligus menjadi sebuah family project! Family project memang seru dan kami pun selama di Wina ini sudah membuktikan bahwasanya sebuah problem statement keluarga available untuk dikerjakan dan di-scale up. Berawal dari kebutuhan dan keresahan yang dirasakan sekeluarga, bisa berdampak hingga skala lingkungan sekitar dan menjadi sebuah community based education. Setidaknya itu yang kami rasakan saat menjalankan TPA di masjid Indonesia di sini bersama teman-teman rasa saudara.
Saya senang sekali membaca perjalanan gerakan mba Niken yang dituangkan dalam jurnalnya. Semangat dan energinya sampai ke pembaca, kekompakan mba Niken dan suami bahu-membahu menjalankan gerakan ini juga terbaca dalam gannt chart dan todolist yang dibuat.
Saya senang dengan gerakan yang mba Niken jalankan. Membaca jurnal dan melihat dokumentasinya, saya teringat masa kecil dimana sering diajak bertandang ke kandang karena orangtua bekerja di peternakan ayam. Daging kalkun juga merupakan daging favorit anak kedua saya untuk menu katsu atau yang di sini lazim disebut Putenschnitzel. Biasanya saya mendapatkan daging kalkun di pasar tradisional atau toko turki. Alhamdulillah daging halal di kota ini sangat mudah diperoleh. Saya baru pernah mengolah daging kalkun bagian dada, yang kemudian saya buat Putenschnitzel kesukaan anak-anak. Dagingnya yang juicy dan kadar proteinnya yang lebih tinggi dibanding ayam, membuat penikmatnya seringkali langsung jatuh hati. Karenanya wajar juga jika harganya pun dibanderol lebih mahal ketimbang daging ayam. Mendadak jadi terpikir untuk mengolah daging kalkun lagi. Ada ide menu baru yang perlu saya coba?
Sekali lagi, terima kasih ya mba Niken sudah menjadi buddy saya pekan ini. Semoga di kesempatan akan datang, gerakan kita bisa berkolaborasi ya. Sukses selalu untuk Kalkunkoe! :)
Wina, 4 November 2023
Comments
Post a Comment