Anak-anak amat bersemangat menyambut hari pertama Ramadan. Di jam sahur, saya bangun jam dua pagi untuk menyiapkan makan sahur. Satu jam kemudian, saat mereka saya bangunkan, dengan cepat mereka membuka mata kemudian beranjak dari tempat tidur. Tak ada drama dibangunkan berulang kali, mata yang masih terpenjam sembari berucap bahwa masih mengantuk maupun adegan penolakan.Gambar 1. Waktu Maghrib menjadi momentum yang amat dinantikan
Kami sahur dengan formasi lengkap, niat berpuasa pun dilafalkan bersama. Nasi hangat berpadu dengan sop sosi makaroni tandas dalam sekejap. Porsi yang saya siapkan untuk mereka habis tak bersisa, bahkan pemuda kecil minta tambah. Susu hangat bercampur madu pun mereka teguk untuk menambah energi. Agaknya mereka amat siap dan sangat bersemangat untuk berpuasa. Usai makan, mereka menggosok gigi dan menutup sesi sahur dengan meneguk air putih. Berlanjut dengan sholat Shubuh berjamaah.
Setelah sholat Shubuh, saya mengajak mereka untuk kembali tidur. Mereka masih bisa tidur sekitar tiga jam sampai waktu berangkat sekolah tiba. Meskipun ini tidak ideal, karena sebaiknya tidak tidur lagi usai sholat Shubuh, tapi ini penting agar mereka tak mengantuk saat jam pelajaran di sekolah nanti. Apalagi putri sulung yang bersekolah di Ganztagsschule, dimana kegiatan di sekolah berlangsung sampai jam 15.30.
Jam tujuh lewat lima belas menit, anak-anak bangun tidur dan bersiap ke sekolah. Putri sulung sudah berangkat sendiri ke sekolah, sedangkan pemuda kecil saya antar ke Kindergarten. Putri sulung tetap membawa camilan dan air minum ke sekolah. Saya juga berpesan, jika memang tidak kuat menahan lapar dan haus, tak apa jika ia membatalkan puasa untuk makan siang kemudian lanjut berpuasa kembali. Saya perlu menekankan padanya bahwa ia masih berada dalam fase latihan dalam berpuasa. Ini penting, agar jangan sampai ia merasa terpaksa dan terbebani hingga justru terekam memori yang kurang menyenangkan akan pengalaman menjalankan puasa. Sama halnya dengan pemuda kecil, saya berpesan padanya untuk tak mengapa makan dan minum di sekolah jika memang tak bsia menahan lapar dan haus.
Jam dua belas kurang sepuluh menit, saya sampai di Kindergarten untuk menjemput pemuda kecil. Ia bercerita bahwa di siang itu ia bersama rombongan baru saja pulang dari taman. Cuaca saat itu memang cukup terik. Ia berujar lapar dan haus. Wajar, karena jarak yang ia tempuh bolak balik dari Kindergarten ke taman pun cukup jauh. Saya tawarkan camilan dan minuman yang saya bawa untuknya. Ia menolak. Ia justru bercerita bahwa ia mengobrol dengan salah satu guru yang muslim, dan guru tersebut mengetahui bahwa ia sedang berpuasa.
Daripada makan dan minum, ia memilih untuk ditemani bermain balok kayu. Setelah satu jam bermain, ia kembali merasakan lapar dan haus. Saya kembali menawarkan makan. Kali ini ia tak menolak. Nasi dan telor ceplok ia habiskan dalam sekejap. Setelah minum air putih, ia kembali melanjutkan latihan berpuasa. Beberapa saat kemudian saya menawari untuk tidur siang. Ia pun menyetujuinya.
Putri sulung sampai di rumah sekitar jam 15.40 dengan raut wajah lesu. Ia terlihat lelah dan lemas. Benar saja, setelah sholat, ia bercerita bahwa ia masih lanjut berpuasa dengan kondisi yang cukup menantang. Di hari yang cukup terik ini mereka pergi ke pertandingan bola tangan untuk menjadi suporter sekolah. Sebagian teman-temannya memutuskan untuk minum saat perjalanan pulang ke sekolah karena kehausan. Sampai di sekolah, lanjut makan siang. Sedangkan ia dan dua orang temannya memilih bertahan melanjutkan puasa sehingga diperbolehkan untuk keluar dari ruang makan di jam makan. Putri sulung juga masih harus mengikuti sekolah Indonesia daring. Tapi begitu mengetahui bahwa jam selesai sekolah daringnya adalah mendekati jam berbuka puasa, ia pun jadi lebih bersemangat.
Mendengar anak-anak bercerita tantangan yang mereka hadapi di hari pertama Ramadan ini, saya menyadari bahwa selama Ramadan, saya perlu mengalokasikan waktu dan perhatian ekstra untuk mereka. Mendengarkan cerita mereka dalam menaklukkan tantangan,maupun melewati kondisi tak ideal. Mereka masih ada di fase latihan. Semangat, antusiasme, dan daya juang yang mereka miliki, harus difasilitasi dan dibersamai agar tumbuh mekar tanpa intervensi dan paksaan. Di lingkungan mereka tumbuh saat ini, dimana Islam merupakan minoritas, tantangan dan godaan memanglah tak bisa dianggap kecil dan remeh. Semoga Allah tuntun langkah mereka, tumbuhsuburkan fitrah keimanan mereka dan Allah ridai mereka menjadi pemuda pemudi muslim tangguh yang cerdas akal dan jiwanya. Aamiin aamiin ya Robbal‘alamiin.
Gambar 2. Masakan sederhana hari pertama : kolak, cilok, dan bakso. Alhamdulillah. |
Wina-Austria, 24 Maret 2023
Comments
Post a Comment