Sejak awal Juli lalu, Sommerferien atau liburan musim panas di Wina dimulai. Anak-anak libur sekolah selama dua bulan, lebih bahkan, sampai awal September nanti. Selama dua bulan tersebut, saya pribadi memiliki jatah libur dua pekan. Selebihnya, tetap masuk Ausbildung seperti biasa. Karena mode lingkungan adalah masa liburan, meski kami beraktivitas seperti biasa (yang artinya yaitu, suami tetap studi dan bekerja, saya tetap masuk Ausbildung, si sulung mengikuti kegiatan Summercitycamps, pemuda kecil tetap berangkat ke Kindergarten), namun ritme kami juga turut lebih santai. Kami mengupayakan bisa family time di akhir pekan, mengikuti beberapa acara anak yang banyak diadakan oleh pemerintah dalam rangka mengisi masa liburan, juga besilaturahmi dengan teman-teman sesama warga Indonesia. Kondisi ini justru mengajarkan saya untuk belajar menjalani kehidupan dengan seimbang. Memberi porsi untuk setiap kegiatan sesuai takaran prioritasnya.
Terkait dengan agenda bertemu dengan teman-teman, saya merasa momen tersebut merupakan kesempatan untuk mengisi ulang daya energi diri. Ya, rasanya frekuensi saya bertemu dengan teman-teman jauh berkurang ketimbang beberapa tahun lalu, terutama sebelum pandemi. Wajar saja, kesibukan kami sudah berbeda. Dulu beberapa dari kami rutin bertemu karena jadwal kursus yang sama, atau masa dimana anak-anak masih berada di Kindergarten sehingga jamnya lebih fleksibel dan bisa sering janjian untuk main bareng. Sekarang, dari segi saya pribadi, saya memiliki kewajiban untuk menjalankan Ausbildung di hari kerja setiap pekannya dari jam 8:00 hingga 17:00. Si sulung dan pemuda kecil berada di sekolah masing-masing dari jam 8:00 hingga 16.00. Jadwal hari kerja yang padat tersebut membuat kami memilih untuk mengoptimalkan waktu di akhir pekan untuk berkegiatan sekeluarga dan melakukan hal-hal prioritas yang belum bisa tergapai di hari kerja.
Lama tak jumpa, tentu hadir rasa rindu, bukan? Maka, saat libur musim panas ini tiba, saya menjadwalkan agenda meet up dengan beberapa teman. Pertemuan dengan teman kerap menghadirkan insight kehidupan bagi saya pribadi. Karenanya terkadang saya merasa perlu memikirkan upaya bagaimana agar setiap silaturahmi berlangsung efektif, mengejar keberkahan dan saling menautkan hati karena Allah. Tidak perlu selalu dipikirkan juga, karena sesekali kita pun perlu melakukan hal spontan. Nah, upaya-upaya yang bisa dilakukan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menentukan Tujuan
Saya percaya bahwa semangat belajar perlu terus dipupuk dan diaplikasikan di setiap langkah. Termasuk dalam sebuah pertemuan dan silaturahmi. Tidak perlu muluk-muluk, cukup menentukan satu tujuan saja. „Hmm...saya mau bertemu dengan mba A, mau belajar apa yang dari beliau nanti? Ah iya, beliau pernah bikin chiffon pandan, enak rasanya.Nanti mau tanya cara bikinnya ah, insyaAllah.“ atau „Anakku tahun depan mau masuk Volksschule. Nanti pas ketemu, sekaliyan tanya ke mba B apa saja yang perlu diperhatikan dalam memilih Voksschule buat anak.“. Untuk membantu mengingatkan diri, kita bisa mencatat poin-poinnya di buku catatan kecil yang kita bawa di tas.
2. Memberi Batasan Rentang Waktu
Apa tantangan para perempuan saat bertemu? Kerap kali adalah lupa waktu, bukan? Saya teringat sebuah peristiwa. Kala itu saya mengikuti Family Camp bersama keluarga tokoh parenting. Sang istri, merupakan sosok ibu teladan untuk para perempuan Indonesia. Saya sangat excited untuk bertanya beberapa hal ke beliau. Tidak hanya saya saja, tapi juga para peserta lainnya. Sosok ibu teladan itu pun menyambut setiap pertanyaan dengan hangat sehingga ruang diskusi itu pun berlangsung gayeng. Namun kemudian beliau menyampaikan kalau waktu beliau untuk berdiskusi bersama kami tersisa tinggal lima menit, karena ada durasi waktu yang disepakati beliau dan suami untuk forum diskusi ini. Benar saja, lima menit kemudian, saat beliau akan izin meninggalkan forum, sang suami datang dengan tersenyum dan memperlihatkan angka di jam tangannya. Menjemput sang istri meninggalkan forum sesuai jadwal yang mereka sepakati bersama. Saya belajar dari kejadian tersebut.
3. Mawas Diri Saat Berbicara
Bagi saya, yang paling sulit dalam mengobrol adalah melakukan kontrol diri. Fokus menyampaikan hal yang benar, tidak membicarakan orang lain, tidak menyakiti hati lawan bicara itu merupakan beberapa adab yang perlu dijaga selama mengobrol. Dan itu tidak mudah, hiks hiks. Semoga Allah ampuni kelalaian diri ini yang muncul saat bercengkerama dengan orang lain. Jadi, perlu senantiasa berdoa agar Allah menjaga lisan dan pendengaran kita.
4. Siap menjadi Pendengar yang Baik
Mengobrol atau berdiskusi artinya terjadi komunikasi dua arah. Kita perlu menyiapkan diri untuk berbicara, juga menyimak apa yang disampaikan lawan bicara. Adanya kesalingan dalam menanggapi-lah, yang membuat pemahaman kita menjadi lebih kaya pasca diskusi. Nah, jika kita melakukannya dengan mindful, interaksi akan mengalir lancar yang kemudian mentransfer energi positif dan mengisi tangki bahagia diri masing-masing. Bukankah manusia memang merupakan makhluk sosial?
5. Minimalisasi Penggunaan Gawai
Sesekali mengeluarkan gawai untuk mengabadikan momen, mengecek jam, atau menerima telfon tentu tak apa. Apalagi kalau hal yang kita obrolkan adalah seputar topik yang berkaitan dengan sumber informasi yang bisa dicek di situsnya. Misalnya, saya bertemu dengan teman yang menanyakan tahapan untuk mendaftaran anak ke Kindergarten, atau seorang teman yang menanyakan kursus bahasa Jerman gratis dengan fasilitas tempat penitipan anak yang pernah saya ikuti. Akan lebih mudah jika saya menunjukkan situs-situs resmi yang bisa mereka pelajari sendiri lebih lanjut. Tentu wajar jika kita gunakan gawai untuk mengakses hal tersebut. Namun jika memakai gawai untuk berinteraksi dengan pihak lain atau mengecek lini masa di media sosial, sebaiknya kita tunda dulu jika tak mendesak.
Nah, bagaimana dengan teman-teman? Jika ada poin lain yang teman-teman upayakan juga, silakan tambahkan di kolom komentar ya. Terima kasih :)
Wien, 24. July 2022
Mesa
Comments
Post a Comment