Aku bersyukur sekali, karena kemarin sore kami sekeluarga berkesempatan menghadiri kajian dan buka bersama di masjid As-Salam WAPENA (Warga Pengajian Austria). Karena kajian dijadwalkan mulai jam 17.00 CEST, kami berencana untuk berangkat ke masjid jam 16.00 CEST karena estimasi durasi perjalanan adalah sekitar 45 menit. Namun ternyata molor karena ini itu, sehingga kami baru keluar rumah jam 16.37. Anak-anak membawa tas masing-masing berisi sajadah dan perlengkapan salat mereka. Ada rasa haru yang menyeruak karena kami bisa kembali hadir di acara tersebut, setelah dua tahun ditiadakan karena pandemi. Siapa yang tak rindu dengan masjid dan kebersamaan umat di dalamnya?
Sesampainya di masjid, kami perlu melakukan Antigen Test karena hasil PCR Test yang kami lakukan satu hari sebelumnya belum kami terima. Ditambah dengan menunjukkan bukti vaksin lengkap. Dan ternyata di masjid masih relatif sepi. Baru segelintir orang yang hadir meskipun waktu menunjukkan pukul 17 lewat. Kesempatan tersebut aku gunakan untuk menyapa ibu-ibu yang sudah hadir terlebih dahulu dan mengobrol singkat. Juga mendengar pengalaman seorang ibu yang baru saja menunaikan ibadah umrah pekan lalu, di bulan Ramadan ini. MasyaAllah tabarakallah.
Sekitar jam 17.30, bapak DCM selaku narasumber hadir dan kajian pun dimulai. Disusul dengan kehadiran peserta. Seiring dengan itu, kami para ibu mulai menyiapkan piring-piring kertas untuk diisi dengan camilan yang dibawa oleh para peserta sebagai takjil pelengkap saat buka puasa nanti. Sesuai dengan jumlah kuota peserta, kami menyiapkan sekitar tujuh puluh porsi. Tak lupa mendidihkan air untuk membuat teh hangat sebagai penghilang dahaga bersama dengan Air Minum dalam Kemasan (AMDK) yang sudah siap tersedia.
Usai menyiapkan takjil, kami bergeser ke ruang utama. Menyimak kajian bertajuk Diplomasi Perdamaian. Tantangan yang kurasakan sebagai peserta adalah bagaimana agar tidak tergoda dan menunda waktu mengobrol dengan peserta lain dan menyimak kajian dengan khidmat. Di sisi lain, ada rasa kangen yang menyeruak karena lama tak saling jumpa dengan teman-teman sesama peserta. Tapi, bukankah masih ada waktu mengobrol saat nanti kajian sudah selesai? InsyaAllah. Anak-anak pun sudah bisa beraktivitas mandiri. Yang satu bersama suami di barisan ikhwan dan ternyata terlelap selama kajian. Sedangkan si sulung memilih bermain sendiri sembari sesekali membaca buku dan menjawab pertanyaan yang terlontar padanya.
Tanpa terasa waktu berbuka pun tiba, adzan berkumandang dengan merdunya dan didengarkan dengan khusyuk oleh pemuda kecil. Kami berbuka bersama dan mengobrol hangat, dilanjutkan dengan salat Maghrib berjamaah. Anak-anak nampak sumringah saat menyeruput air minum dan memakan takjil. Raut bahagia dan lega terpancar dari wajah mereka. Lapar dahaga pun hilang sudah. MasyaAllah, kesempatan langka ini terasa amat hangat. Acara berlanjut dengan makan bersama. Karena kali ini konsumsinya disediakan oleh pihak KBRI, maka konsumsi pun dibagikan dalam bentuk nasi kotak. Semua terlarut dalam obrolan yang gayeng, hingga kemudian satu per satu beranjak dan berpamitan pulang. Kami masih mempertimbangkan untuk pulang juga atau bagaimana. Namun saat bertanya pada anak-anak, mereka memilih untuk lanjut ikut salat Isya‘ berjamaah dan tarawih.
Kegiatan pun berlanjut. Rakaat demi rakaat pun terlewati. Hingga sampai di penghujung witir dan terlantunkan doa. Air mata pun menetes. Campur aduk rasanya. Ramadan sudah berada di penghujung akhir namun aku merasa belum mengoptimalkannya. Ada rasa menyesal namun yakin bahwa masih ada harapan. Ingin ku optimalkan sisa waktu Ramadan ini sebaik-baiknya. Malam sudah semakin larut. Jam malam di wilayah Wina pun sudahterlewati sejak tadi. Menjelang jam 24.00 kami meninggalkan masjid, menempuh perjalanan dengan tram untuk pulang kembali ke rumah.
Wina, 24 April 2022
Jurnal Ramadan #5 Griya Riset
Comments
Post a Comment