Pagi itu stasiun tampak lebih lengang dari biasanya. Wajar saja, waktu sudah beranjak lewat dari jam 8.30. Biasanya saya berangkat jam sekitar jam 7.15 - 7.30, dimana semua orang sibuk berlalu lalang menuju tempat kerja atau mengantar anak-anak ke sekolah. Kondisi yang sepi ini membuat saya lebih bisa menikmati perjalanan, termasuk mengamati kondisi sekitar.
Seorang ibu paruh baya sedang berjalan perlahan dengan bantuan tongkat. Beliau menyusuri guiding block atau jalur penuntun yang tersedia sepanjang jalan stasiun. Rupanya beliau menuju ke arah eskalator yang mengarah ke lantai atas. Pada kesempatan lain saat berada di dalam kereta, saya mengamati akses untuk para pengguna kursi roda. Beberapa tahun lalu saat saya masih menggunakan kereta dorong untuk anak kedua yang masih batita, saya menjadi menyadari begitu pentingnya keberadaan lift di setiap stasiun kereta bawah tanah. Ada kalanya kondisi lift di satu stasiun rusak, sehingga pengguna kereta dorong perlu berpindah jalur lain untuk mendapatkan akses transportasi. Dan kesulitan serupa tentu juga dialami oleh penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kursi roda. Meskipun kondisi tersebut dapat diminimalkan dengan mengecek aplikasi transportasi kota yang selalu diperbarui. Saya makin tersadar pentingnya sarana publik yang ramah untuk semua masyarakat. Dengan sarana yang memadai sebagai salah satu faktor, penyandang disabilitas memiliki lingkungan yang inklusif sehingga dapat beraktivitas dengan nyaman.
Ada beberapa versi jenis-jenis disabilitas, salah satunya saya mengutip dari situs Sistem Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus. Bahwa ada beberapa jenis penyandang disabilitas, yaitu disabilitas mental, disabilitas fisik dan disabilitas ganda. Disabilitas mental terbagi menjadi mental tinggi, mental rendah dan berkesulitan belajar spesifik. Sedangkan disabilitas fisik terdiri dari tunadaksa, tunanetra, tunarungu dan tunawicara.
Dalam rangkaian acara bootcamp Ibu Inklusif yang sedang saya ikuti, salah satu materi yang sempat saya simak adalah penuturan mba Widi Utami, seorang ibu dengan Hard of Hearing (HoH) atau keterbatasan pendengaran. Beliau menyampaikan beberapa tips cara berinteraksi dengan difabel. Antara lain :
- Gunakan kata difabel, ketimbang cacat, budheg dan sebagainya
- Sebut „non difabel“ bagi yang bukan penyandang disabilitas, ketimbang orang normal atau sehat
- Tidak bertanya penyebab
- Jika ingin membantu, bertanya terlebih dahulu
- Hindari memuji dengan term „meskipun penyandang disabilitas“
- Saat berinteraksi langsung, pastikan mata sejajar, terutama untuk teman daksa
Karena jam daring yang terbatas ditambah perbedaan zona waktu, saya tidak bisa mengikuti setiap kegiatan dari Bootcamp ini. Meski semua rangkaian kegiatannya bagus, mulai dari diskusi interaktif di grup WhatsApp, live webinar dua kali dalam sepekan, juga sharing seru dari para peserta, saya perlu memilih mana yang bisa saya jalankan dari seluruh agenda menarik tersebut. Maka saya menentukan prioritas dan mengambil strategi untuk fokus ke pengerjaan challenge-nya terlebih dahulu. Semoga sedikit ilmu yang sampai ke saya, bisa menjadikan diri lebih baik dari hari ke hari dan teraplikasikan dalam setiap langkah. Aamiin.
#gerakanibuinklusif
#bootcampdutainklusif
#inklusif
#budayadifabel
#temandifabel
#womensupportwomen
#IP4ID2022
Comments
Post a Comment