Hari Sabtu, jadwalnya menyapa dan berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya :)
Apa kabar teman-teman? Semoga sehat dan senantiasa dalam lindungan Allah ya.
Kali ini saya ingin bercerita mengenai program yang sedang saya ambil, yaitu Gerakan Ibu Inklusif yang digagas oleh Ibu Profesional.
Usai lulus sebagai Multiplikator dari program Lehrgang MUTIG yang saya jalani beberapa waktu lalu, kepikiran deh tentang aksi selanjutnya, bagaimana cara meluaskan dampaknya. Tak berselang lama, saya mendapatkan info mengenai program ini. Hmm... sepertinya nyambung nih, karena Lehrgang yang saya ikuti lalu bertajuk Multiplikatorinnen für Inklusion und Geschlechtergerechtigkeit, sedangkan program kali ini bernama Gerakan Ibu Inklusif. Mari kita tarik benang merah dari satu kata yang senada, inklusi. Sebelum mendaftar, saya bertanya terlebih dahulu mengenai proses belajarnya. Materi disampaikan dua kali dalam satu pekan dan bisa disimak secara live maupun rekaman, insyaAllah masih realistis untuk diikuti dengan jam daring yang dimiliki, maka saya pun memutuskan bergabung untuk bergerak bersama.
Untuk apa?
Untuk menjadi seorang yang lebih inklusif. Apa sih inklusif itu? Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inklusif adalah termasuk atau terhitung. Kata inklusif merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu inclusive, yang kalau dalam bahasa Jerman adalah inklusive (Silakan dikoreksi ya teman-teman, jika kurang tepat. Agar bisa saya revisi).
Di Wina, saya adalah seorang pendatang dan seorang muslimah, yang mana merupakan minoritas dan sangat perlu untuk mendapatkan lingkungan inklusif. Beragam tantangan menyertai, maka saya belajar untuk berpartisipasi dalam membangun lingkungan inklusif, dimulai dari dan untuk menyelesaikan tantangan diri sendiri, baru kemudian ke orang lain. Hal yang sedang diupayakan untuk dilakukan antara lain :
1. Mengenali, memahami kekuatan dan keterbatasan diri
2. Melihat suatu hal dari beragam sudut pandang
3. Mengerti bahwa latar belakang setiap orang bermacam-macam
4. Percaya bahwa semua orang terlahir dengan derajat sama
5. Percaya bahwa semua orang „sempurna“ dan berkesempatan untuk menjadi versi terbaik dirinya
Kultur lokal di sini tentu jauh berbeda dengan kultur yang melekat pada diri saya sebagai orang Indonesia. Berinteraksi dengan teman-teman yang merupakan warga lokal maupun pendatang namun dari negara lainnya, biasa saya mulai dengan mendengarkan dan bertanya terlebih dahulu. Saat cerita dari mereka mengalir, di saat itu juga saya belajar memahami cara berkomunikasi yang sekiranya tepat dengan orang tersebut. Berlanjut dengan bahasan-bahasan yang sekiranya menarik untuk didiskusikan bersama.
Comments
Post a Comment