Beberapa waktu belakangan, saya mengikuti sebuah online workshop Bedenkzeit yang bertajuk “Psychisch stark bleiben in Zeiten von Corona” yang artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih "Menjaga Kesehatan Mental selama Pandemi Corona". Acara Bedenkzeit ini rutin setiap pekan diselenggarakan via Zoom oleh Junge Musliminnen Österreich (JMÖ). Sebenarnya ikut workshop ini bermodal nekat, karena kemampuan bahasa Jerman juga masih pas-pasan.
Tapi saya memutuskan untuk mencoba mengikuti workshop
ini dengan pertimbangan, tema yang disampaikan adalah seputar pengembangan
diri, bahasan kesehatan mental juga kerap menjadi bahan belajar di kelas
belajar berbahasa Indonesia yang saya ikuti. Jadi harapannya, pemahaman dasar
yang saya miliki bisa menjadi konektor dalam memahami isi workshop ini.
Pun di kelas bahasa Jerman semester lalu, banyak juga dibahas mengenai tema pengembangan diri perempuan. Semoga belum keburu menguap dan terlupa, hihi. Belajar bahasa dengan
mengikuti diskusi bertopik yang menarik
perhatian juga adalah sebuah cara belajar yang versi „saya banget“. Biar ada
rasa penasaran buat ngulik lebih lanjut meskipun susah dan ngga mudheng-mudheng
amat. Hehehe.
Dari judulnya, sudah kebayang ya gambaran
besarnya secara umum, yaitu mengenai kesehatan mental di situasi pandemi. Situasi
pandemi tentu bukan hal yang mudah bagi semua pihak. Di Austria sendiri, saat
ini hingga beberapa waktu ke depan masih berlaku lockdown atau pembatasan.
Kondisi ini tentu mempengaruhi kesehatan mental bagi banyak orang. Bahkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga pun mengalami peningkatan. Teringat di kelas
bahasa semester lalu, beberapa kali pengajar sempat menginformasikan nomor
kontak psikolog atau konsultan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu di masa
pandemi ini. Nah, dalam diskusi kali ini dibahas seputar bagaimana agar kita
bisa melewati hari dari waktu ke waktu dengan baik meskipun di situasi yang
sulit dan penuh keterbatasan.
Narasumber menyampaikan bahwa dalam menghadapi sebuah situasi berat seperti pandemi ini, ada dua pilihan aksi, yaitu kita mau menghindari (vermeiden) atau mendekat (annaehern). Menghindari itu seperti ngedumel mengenai ketidaknyamanan yang dirasakan sedangkan mendekat adalah dengan menerima kondisi lalu menjalankannya sekalipun tidak mudah. Lalu dalam prosesnya juga ada empat tahapan yang dilalui, yaitu :
- Mempersepsikan (wahrnehmen)
- Mengevaluasi (bewerten)
- Merasakan (fuehlen)
- Bertindak (handeln)
Dibahas juga mengenai faktor-faktor pelindung,
hal-hal yang bisa melindungi diri, antara lain ikatan yang aman, penanggung jawab yang bisa dipercaya,
keterampilan sosial dan efikasi diri yaitu kepercayaan akan kemampuan diri
sendiri.
Nah, bahasan berikutnya masuk ke resiliensi. Kata
ini sepertinya memang sedang hangat dibicarakan ya. Mulai dari teman di kelas
belajar yang sedang melatihkan resiliensi sebagai sebuah karakter diri, sampai
suami yang juga menyebut resiliensi dalam diskusi kami belakangan ini terkait
pekerjaan beliau. Menurut Garmezy (1991), resiliensi merupakan keberhasilan
seseorang dalam beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan atau buruk.
Ada enam pilar resiliensi yang mendorong resiliensi yang kuat dari dalam diri
seseorang. Keenam hal itu adalah berpikir optimis, menerima situasi, bergerak
mencari solusi, tidak bermental korban, mengambil tanggungjawab, mengembangkan
kontak dan koneksi, dan merencanakan masa depan.
Setelah membahas mengenai resiliensi, peserta diajak untuk membuat grafik yang disebut Lebenslinien yang menghubungkan ordinat usia dengan penilaian atas diri. Ada empat aspek yang dinilai, yaitu fisik, mental, sosial dan emosi. Dimana bernilai negatif jika emosi yang dirasakan adalah emosi negatif, titik 0 sebagai perasaan netral dan bernilai positif jika merasakan emosi positif. Saya belum mengerjakan ini karena cukup panjang, dari masa kecil hingga usia saat ini. Perlu mengingat-ingat kejadian setiap tahun dan pergantian rasa yang hadir di waktu-waktu tersebut sepertinya. Saya jadi teringat lembar kerja Selfcare yang saya ikuti tahun lalu dengan difasilitasi mba Farda. Serupa dengan itu.
Kemudian, dipaparkan metode RAIN (Recognize, Allow, Investigate, Nurture). Dimana saat mengalami situasi sulit seperti pandemi ini, kita perlu mengidentifikasi dulu apa yang sedang terjadi, kemudian mengizinkannya terjadi dan menyadari bahwasanya hal tersebut merupakan bagian dari proses hidup kita, lalu melakukan investigasi dengan penuh atensi dan menjalankannya dengan penuh kasih sayang. Tentu saja juga dengan senantiasa bertawakkal pada Allah.
Pas menulis ini, saya juga masih
mencoba mengingat-ingat materi yang disampaikan sembari mengaitkan kata-kata
yang sempat tercatat. Bahkan sempat merasa tak mampu menuliskan resume-nya karena enggan merapikan pikiran yang berloncatan di kepala. Tapi alhamdulilah Allah mudahkan untuk mewujud menjadi sebuah tulisan. Tak apa tak lengkap, tak apa tak sempurna. Terima kasih sudah mengupayakan untuk berproses dengan optimal dan memilih tak menyerah. Alhamdulillah. Semoga senantiasa dalam rida Allah. Aamiin...
Wina, 28 Januari 2021
Sumber referensi :
Wulandari, A.P.J. Mengenal Resiliensi dalam Ilmu Psikologi. https://psychology.binus.ac.id/2020/03/31/mengenal-resiliensi-dalam-ilmu-psikologi/.
Diakses 28 Januari 2021
Comments
Post a Comment