Pandemi COVID-19 tentu bukan hal yang mudah bagi semua
orang. Setiap orang tentu
terdampak, namun bisa jadi dalam bentuk yang berbeda-beda. Bagaimana
dengan saya?
Setelah saya rasa-rasa, tantangan signifikan yang terasa
selama pandemi COVID-19 adalah tantangan manajemen waktu. Mengapa? Karena banyak
perubahan yang mengajak diri untuk segera beradaptasi dan saya tertantang untuk memperbarui pola manajemen waktu yang sudah berjalan sebelumnya. Meningkatkan kemampuan manajemen waktu menyambut era new normal.
Nah, sebelum membahasa mengenai manajemen watu di kala pandemi, tentu kita perlu menggali strong why-nya terlebih dahulu. Maka saya coba tuliskan, hal apa saja yang menjadi poin perubahan kondisi yang terjadi selama pandemi COVID-19.
Suami tidak bisa bekerja di kampus, beliau harus bekerja dari dalam rumah.
Suami tidak bisa bekerja di kampus, beliau harus bekerja dari dalam rumah.
Kondisi ini ada sisi positifnya pun sisi negatifnya. Saya paham persis bahwa suami memiliki load pekerjaan yang besar. Jika hari aktif, beliau biasanya berada di kampus hingga pukul 21.00 atau 22.00, jika Jum'at bahkan seringkali hingga dini hari. Dengan bekerja dari rumah tentu fokusnya bercabang sehingga kemungkinan saya perlu membiasakan diri untuk menyaksikan beliau berada di rumah terus menerus dengan kondisi terus menghadap laptop dan bercerita tentang tantangan pekerjaannya.
Si sulung
tidak berangkat ke sekolah dan fasilitas bermain anak-anak di luar ditutup sementara.
Artinya seluruh kegiatan belajar dan bermainnya dijalankan di rumah. Situasi sementara ini juga tidak memungkinkan untuk mengajak anak-anak beraktivitas di luar rumah. Spielplatz atau taman bermain anak sudah ditutup, Buecherei atau perpustakaan pun ditutup. Bersyukur sebelum pandemi kami sempat meminjam cukup banyak buku sehingga bisa menjadi amunisi cukup selama Ausbeschraengkung atau masa karantina.
Kursus bahasa
Jerman berpindah berlangsung via daring.
Saya bersyukur kursus bahasa Jerman tetap bisa berjalan sekalipun beralih via daring. Karena sudah menjadi target pribadi untuk lulus level B1 di pertengahan tahun 2020 ini. Dengan belajar via daring memang tantangannya adalah meningkatkan gadget hours dari durasi biasanya. Namun saya memang memerlukannya untuk mempersiapkan diri agar siap menghadapi Pruefung atau tes bahasa Jerman B1 di
bulan Juli depan, sekalipun kursus berlangsung tidak ideal seperti semester sebelum-sebelumnya (idealnya via tatap
muka empat hari dalam sepekan, 3.5 jam per hari selama sekitar 3.5 bulan).
Menjalankan Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA) Masjid As-Salam WAPENA via daring.
Kegiatan TPA yang biasanya berlangsung rutin setiap hari Minggu di masjid, tidak bisa dilakukan sementara waktu. Ada masukan untuk mengadakan secara daring. Namun saya tak langsung menyanggupi. Langkah pertama yang saya jalankan adalah melakukan survey kesediaan tim pengajar.
Sedangkan kelas belajar yang sudah biasa berjalan via daring seperti kuliah Bunda Cekatan, Bunda Sayang Leader, kelas tahsin tetap berjalan sesuai jadwal.
Setiap kelas belajar daring membutuhkan alokasi waktu belajar, bukan?
Setiap kelas belajar daring membutuhkan alokasi waktu belajar, bukan?
Lalu bagaimana solusi yang bisa dijalankan?
Manajemen waktu di awal masa pandemi cukup berantakan. Saya sadar bahwasanya perhatian tentu berpusat pada pandemi. Pikiran tak bisa tak acuh dengan pemberitaan mengenai pandemi baik di Austria maupun di Indonesia. Kala itu, tanggal 13 Maret 2020 saya membatalkan untuk berangkat kursus atas perintah dari suami, karena situasi sudah cukup tak kondusif. Hari itu, suami memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus, si sulung juga tak berangkat sekolah dan saya juga tak berangkat kursus. Saya memutuskan untuk pergi berbelanja, membeli beberapa bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga untuk stok beberapa hari ke depan. Di jalan, saya temukan orang-orang keluar masuk toko dengan menenteng tas-tas besar. Orang-orang sudah mulai membeli stok bahan makanan dalam jumlah banyak bahkan berlebih. Isi toko sudah banyak yang habis.
Ausbeschraengkung (pembatasan keluar rumah) yang dijadwalkan baru berjalan bertahap di pekan depan, ternyata berlaku lebih awal, yaitu mulai hari Minggu, 15 Maret 2020 yang angka positif COVID-19 yang terus meningkat tajam. Pengumuman diberlakukannya Ausbeschraengkung keluar pada hari Minggu sore. Di hari Senin, semua sekolah sudah tutup, pertokoan tutup, taman tutup, jalanan pun lengang. Yang diperbolehkan untuk tetap buka hanyalah toko bahan pangan, apotek, dan toko obat. Selainnya, tutup. Berempat di rumah, dengan kondisi suami harus bekerja seperti biasa namun dilakukan di rumah, anak-anak yang butuh difasilitasi untuk beraktivitas di dalam rumah dan kelas-kelas belajar yang mendadak bertransformasi menjadi via daring semuanya, cukup membuat saya mendadak pusing. Hahaha.
Kondisi yang tak biasa ini memang membutuhkan langkah adaptif. Dan langkah adaptasi yang saya lakukan adalah :
Pertama, mendengar dan menerima perasaan diri
Ada ketidaknyamanan yang dirasakan, Tak apa, toh semua orang juga mengalaminya. Hal apa yang bisa saya lakukan untuk menyamankan diri? Me time versi saya banget yang masih bisa berlaku di masa pandemi ini adalah makan bakso dan eskrim coklat. Maka, mulailah saya membuat stok bakso dan membeli eskrim coklat.
Kedua, komunikasi produktif dengan keluarga
Setelah memahami perasaan diri, saya membuka diri untuk mendengar dan memahami perasaan orang lain. Bekerja dari dalam rumah tentu bukan hal yang mudah untuk suami, kami pun membahas bersama, bagaimana perasaan suami saat bekerja di rumah, bagaimana perasaan saya terkait keberadaan suami terus-terusan di rumah, apa harapan saya pada suami, apa harapan suami pada saya, apa harapan anak-anak pada kami dan seterusnya. Alhamdulillah dengan diskusi ini, saya memperbaiki beberapa persepsi saya mengenai suami dan sebaliknya. Mengutarakan dan menyimak Frame of Reference dan Frame of Experience masing-masing dan menjadikan FoR dan FoE kami.
Ketiga, menetapkan skala prioritas dan bergerak berdasar padanya
Bagaimana pun situasi pandemi adalah situasi yang luar biasa. Butuh pemakluman atasnya. Jika tidak, maka berpotensi untuk menyalahkan pihak lain maupun kondisi. Situasi yang luar biasa ini membutuhkan alokasi waktu tersendiri. Sehingga, aktivitas diri pun tak bisa berjalan seperti biasanya, terlampaui semuanya. Skala prioritas perlu ditata ulang, standar pencapaian perlu ditera ulang sehingga kewarasan diri tetap terjaga.
Salah satu kesepakatan hasil diskusi saya bersama suami terkait aksi kami di masa pandemi adalah :
- Belanja kebutuhan pangan dan rumah tangga cukup satu kali dalam sepekan dan perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki. Dilakukan oleh saya karena saya yang lebih mengetahui tempat-tempatnya, saya yang lebih membutuhkan bersosialisasi dan keluar rumah (kecenderungan ekstrovert dan kinestetik). Saya bersyukur meskipun berbelanja di banyak tempat (bahan pangan bisa diperoleh di toko umum, daging dibeli di toko halal Turki, cabai dan ikan didapatkan di toko India, tahu dan tempe diperoleh di toko Asia) namun ke semua toko bisa kami akses dengan berjalan kaki sekitar lima belas menit saja.
- Proses kerja suami dari dalam rumah membutuhkan support system yang kontinyu. Mengkondisikan anak agar tidak mengajak main suami saat suami harus fokus bekerja, menyajikan makanan sehat, menjadi pendengar aktif di setiap waktu jeda beliau juga mengkondisikan hati agar tak kemrungsung dengan pola harian baru.
- Dengan kondisi saat ini, kami sepakat untuk membiarkan rumah seringkali berantakan karena memang durung nyandhak/ belum memungkinkan untuk merapikan rumah sesering biasanya. Kewarasan diri kebih diprioritaskan daripadanya.
Comments
Post a Comment