Kecerdasan
emosi merupakan kebutuhan mendasar yang perlu saya kuasai untuk menunjang
produktivitas dan menjaga keseimbangan peran. Urgensinya pun semakin mendesak
karena juga didukung oleh suami. Karena perolehan badge sepuluhari pertama
kemarin masih berwarna-warni, saya memutuskan untuk melanjutkannya di putaran
kedua tantangan puasa tahap kepompong ini.
Di pekan
kedua ini, giliran suami saya yang mengalami ujian sakit. Beliau radang
tenggorokan juga signifikan. Karena tren penularan virus Covid-19 yang masih
terus menanjak naik, beliau menolak untuk dibuatkan termin ke Hausarzt. Beliau
memilih untuk mengkonsumsi obat yang saya dapatkan sebelumnya dari dokter dan
beristirahat total. Tidak ideal memang, karena penyakit yang kami derita belum
tentu sama sehingga obat yang diperlukan pun bisa jadi berbeda. Namun suami
khawatir dengan kondisi beliau yang kurang fit, beliau menjadi rentan tertular
virus Covid-19. Pertimbangan yang cukup mendasar. Setelah kami berdiskusi, saya
menyepakati keputusan beliau. Di sini saya merasa bahwa inilah momen untuk taat
pada pimpinan. Taat yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dan pelayanan penuh
untuk kesembuhan beliau.
Bersyukur.
Kata ini menjadi kunci saya mengelola emosi di pekan kedua ini. Rumah yang
berantakan, jadwal pengerjaan tugas yang sering bergeser, juga frekuensi di dapur yang lebih panjang dari
biasanya merupakan konsekuensi dari proses karantina Corona ini. Ah, semuanya
sedang mengalami kondisi penuh ketidakidealan, bukan? Maka kini saatnya melatih
diri untuk adaptif pada kondisi yang tidak ideal sehingga kompetensi diri pun
semakin meningkat. Ini momen untuk meningkatkan kapasitas diri. Alhamdulillah.
Comments
Post a Comment