Perjalanan penulisan jurnal telur
oranye ini cukup panjang. Pertama, saya menyimak materi dan diskusi live bersama
bu Septi dan mencatat beberapa poin penting. Kedua, saya tergelitik untuk
menggali pemahaman mengenai ilmu dan keterampilan. Saya bertanya-tanya, mengapa
ilmu-ilmu yang dibutuhkan (telur oranye), digali dari keterampilan –
keterampilan (telur merah) yang ingin dikuasai? Bagaimana menentukan sesuatu
sebagai keterampilan atau ilmu? Bukankah ilmu-ilmu yang saling berkaitan
berkumpul dalam sebuah rumpun ilmu? Semisal saat kuliah S1 saya mengambil
jurusan Teknologi Pangan, maka saya mempelajari ilmu Mikrobiologi, Bioteknologi,
Kimia dan setiap ilmu tersebut ada spesifikasinya lagi seperti untuk Mikrobiologi
ada mata kuliah Mikrobiologi Umum dan Mikrobiologi Pangan.
Lalu apa makna ilmu dan
keterampilan di sini? Apakah sebuah ilmu itu memang merupakan bagian dari
sebuah keterampilan? Pencarian makna ini berkutat di kepala selama beberapa
hari. Di sini saya sedang mempelajari hal baru dalam sebuah pembelajaran baru. Maka
pemaknaan yang digunakan bisa jadi berbeda dari makna yang sudah saya pahami
sebelumnya. Perlu ada proses adaptasi dalam pola berpikir saya, maka saya
menggali kembali, mencari pemaknaan di proses belajar kali ini. Pemaknaan ini
bagi saya merupakan sebuah hal yang krusial, karena menjadi dasar daam sebuah
alur berpikir. Maka merujuklah saya pada KBBI. Menurut KBBI, ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
itu. Sedangkan keterampilan adalah kecakapan dalam menyelesaikan
tugas, mampu dan cekatan.
Definisi yang saya dapatkan di
atas, nampaknya cukup dapat menjawab makna dan hubungan antara keterampilan dan
ilmu di kelas bunda cekatan ini. Sebuah ilmu tentu bersinggungan dengan ilmu
lainnya, pun memiliki turunan ilmu yang kompleks. Seorang yang terampil bukan
hanya seorang yang menguasai ilmu tertentu, namun ilmu-ilmu yang dimiliki dapat
saling terintegrasi dan teraplikasikan dalam sebuah aksi nyata yang memukau. Artinya,
saya sedang mendeteksi kebutuhan ilmu-ilmu yang saya perlukan untuk dapat cakap
menjalankan peran hidup diri saya.
Proses belajar secara merdeka
sangat saya rasakan di sini. Saya tidak disuapi dengan materi-materi (outside
in) namun diajak untuk mengenal diri dan menggali kebutuhan belajar diri,
hingga diberi keleluasaan untuk meracik menu belajar ala diri sendiri. Bingung?
Pasti. Bongkar pasang? Jelas. Trial Error? Tentu. Learning by doing. Proses
ini mengasah kepekaan rasa dan membuat pembelajaran menjadi sebuah proses yang
dijalankan dengan bahagia dan mata berbinar, karena berasal dari kebutuhan
diri. Dan sepertinya ini memang ciri khas pembelajaran ala Institut Ibu
Profesional.
Pemahaman alur proses antara
pembuatan telur hijau, telur merah dan telur oranye cukup jelas, dan saya
menjadi merasa perlu menggali dan mendaftar keterampilan apa saja yang saya
butuhkan juga ilmu-ilmu apa saja yang diperlukan di setiap keterampilan baru
kemudian membuat urutan berdasar skala prioritas. Ya, saya perlu membuat sebuah
peta belajar untuk merekam jejak pembelajaran selama ini dan merencanakan menu
belajar ke depan.
AHA! Membuat peta belajar adalah
sebuah perjalanan panjang, bisa dicicil namun tak perlu segera tuntas sekarang.
Mungkin perlahan akan saya buat, tapi tidak untuk memenuhi tugas telur oranye
ini karena terlalu kompleks. Tak perlu terburu-buru, saya perlu lakukan setahap
demi setahap. Dalam pekan ini saya perlu mengarahkan fokus pada tahap menemukan
cara belajar. Saya membaca kembali jurnal yang saya kerjakan terkait aktivitas
di telur hijau (disini) dan keterampilan di telur merah (disini).
Ilmu yang Berkaitan dengan Keterampilan Prioritas
Dari setiap lima telur hijau dan
telur merah, ada satu yang berada di urutan paling prioritas. Yaitu yang
terletak di ujung daun. Ya, aktivitas prioritas bagi saya adalah Home Education
dan keterampilan yang berada di prioritas utama adalah manajemen pikiran (Mind
Management). Ilmu-ilmu yang perlu saya kuasai dalam lima bulan berada di
kelas Bunda Cekatan ini saya turunkan satu keterampilan terlebih dahulu, yaitu
yang paling prioritas, manajemen pikiran. Berikut lima ilmu yang saya prioritaskan
untuk dipelajari selama berada di kelas Bunda Cekatan.
Berikut penjabarannya :
Fokus
Ilmu fokus perlu saya pelajari
karena saya menyadari bahwa saya masih sering terdistraksi oleh suatu hal yang
tak menjadi prioritas saat itu. Saya perlu belajar strategi menjaga fokus untuk
orang yang mudah hilang fokus, bagaimana cara meningkatkan fokus, dan cara
menghindar dari godaan distraksi.
Prokrastinasi
Saat sedang mengerjakan sesuatu,
merasa ada bahan referensi yang kurang, merasa perlu mencari tahu terlebih
dahulu, merasa ada poin penting yang
terlupa. Padahal jadwal untuk mengumpulkan tugas adalah hari ini. Daripada
kurang optimal, maka saya tunda pengerjaannya untuk bisa melengkapi hal yang
kurang. Namun ternyata, saya tak cukup waktu untuk mengulik dalam hal tersebut
saat ini. Ada yang merasakan pola serupa? Kita sama ya. Karenanya, saya merasa
perlu mempelajari mengenai prokrastinasi. Apa penyebabnya (agar saya bisa lebih
waspada), bagaimana cara pencegahannya, dan strategi untuk berhenti melakukan
prokrastinasi atau penundaan. Saya perlu menguatkan prinsip, “Tuntaskan
sekarang meski dirasa kurang sempurna. Kau masih punya kesempatan untuk terus
memperbaikinya. Sekarang saatnya menyelesaikannya dan beralih mengerjakan tugas
berikutnya.”
Cipta Positif
Saat setiap janjian dengan orang
lain, kita selalu tepat waktu sedangkan yang lainnya tidak, apakah kita kesal? Alih-alh
menggerutu, saya berlatih untuk menepuk pundak sendiri sembari berkata, “Gut
gemacht, Mesa! Kamu sudah menjaga konsistensi untuk datang tepat waktu.”
Saat donat yang sedang digoreng
menjadi coklat karena api agak besar dan sempat ditinggal karena membantu anak
yang sedang di WC, saya merasa kesal. Namun si sulung datang dan berkata, “Donatnya
kakak taburi gula ya Mi.” Dan ternyata saat dimakan, rasanya tidak pahit. Ternyata
pikiran saya menuju ke arah negatif yang hanya kekhawatiran semata. Bukankah sebenarnya
saya tidak perlu kesal, karena ternyata donatnya tetap layak dikonsumsi?
Saya perlu belajar bagaimana
melatih diri untuk menjadi pribadi yang senantiasa berpikir positif? Apa
penyebab datangnya pikiran negatif? Dimana saja bisa saya dapatkan atmosfer
positif? Ini penting bagi saya. Bukankah laku dan ucap kita mencerminkan
bagaimana pola pikir diri kita?
Batas Waktu (Cut off Time)
Yaaa…ngga sempat memasak, karena
pengerjaan tugas yang saya estimasikan cukup dua jam ternyata perlu waktu empat
jam.
Yaaa…telat masuk diskusi Bunda
Cekatan, karena durasi beberes rumah ternyata perlu waktu tiga jam. Saya kira
dua jam cukup.
Saya perlu mendalami ilmu seputar
Cut off Time atau teknik menentukan batas waktu. Apakah durasi aktivitas
yang saya jadwalkan sudah realistis? Bagaimana strategi mengatur kandang waktu
agar sesuai antara jumlah pekerjaan dan alokasi waktu? Apakah perlu disediakan
jeda waktu di setiap pergantian kandang waktu? Bagaimana bersikap tegas dan
disiplin pada diri?
Berpikir ≠ Bertindak
Tak bisa saya pungkiri, bahwa di
setiap amanah perlu alokasi waktu yang saya sediakan tidak hanya untuk
bertindak (menulis jurnal, mengikuti perkuliahan, mengajar santri, datang ke Deutschkurs,
mengerjakan PR) namun juga berpikir (merencanakan jadwal, merancang
kegiatan, menemukan pola). Nah, seringkali ada ide-ide menarik yang terlintas,
yang kemudian saya catat. Namun sebenarnya, alokasi waktu untuk mengerjakannya
belum saya perhitungkan. Sehingga kemampuan dan kesempatan (alokasi tenaga dan
waktu) tidak berbanding lurus dengan keinginan yang terpikirkan. Nah, saya
perlu belajar untuk membedakan antara berpikir dan bertindak. Apa yang
membedakan berpikir dan bertindak? Mana yang lebih penting, berpikir atau
bertindak? Bagaimana mengeksekusi ide hingga tuntas sampai menjadi sebuah aksi?
Tujuan Belajar
Apa alasan terkuat sehingga saya harus menguasai keterampilan manajemen pikiran?
Karena saya ingin bahagia dalam
berproses. Mengatasi faktor penghambat, belajar dengan merdeka dan menemukan
misi hidup.
Sumber Ilmu
Tuliskan berbagai sumber ilmu yang bisa saya pelajari untuk menata puzzle ilmu yang saya perlukan.
- Mempelajari Al Qur’an dan Sunnah.
- Mendatangi sumber ilmu (ulama dan guru).
- Mengikuti seminar dan pelatihan.
- Membaca kitab dan buku.
- Bergabung dalam kelas belajar baik daring maupun luring.
- Forum keluarga.
Cara Belajar
Bagaimana cara belajar yang “Mesa banget” sehingga mempercepat proses belajar saya?
Menuntut ilmu secara luring tentu
lebih saya utamakan daripada daring. Mendatangi majelis ilmu secara langsung
tentu juga merupakan sebuah upaya menjemput keberkahan. Cara belajar yang
paling saya sukai adalah belajar intensif dengan guru secara privat atau
kelompok kecil yang memungkinkan terjadinya interaksi dua arah. Dengan cara
ini, saya bisa menyimak detail setiap materi yang disampaikan guru. Selain itu,
saya juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan feedback dari beliau, masukan
mengenai pemahaman atau praktik yang saya jalankan setelah mendapatkan ilmu
dari beliau tersebut, juga koreksi jika ada yang kurang tepat dan saran bagian
mana saja yang perlu diperbaiki. Saat ini proses belajar demikian berjalan di Deutschkurs
(kursus bahasa) yang sedang saya ikuti.
Kalau cara diatas tidak bisa
terpenuhi, maka tingkatan cara belajar kedua adalah dengan bertemu langsung
dengan guru melalui seminar atau pelatihan. Saat mendatangi seminar dan pelatihan
luring, saya merasakan hawa dan semangat belajar yang sangat kuat yang
terpancar di dalam ruangan. Menyimak pemaparan narasumber dengan seksama,
menghadirkan transfer energi yang nyata, terlebih jika kesempatan bertanya
menghampiri. Jawaban yang narasumber sampaikan akan terpatri kuat di ingatan.
Karena saat ini sedang merantau,
maka akses untuk mengikuti majelis ilmu secara luring dari para pakar Indonesia
tentu terbatas. Teknologi menjawab keterbatasan ini, kesempatan belajar secara
daring terbuka luas. Sekalipun daring tentu berbeda dan tidak seoptimal luring
namun hal itu jauh lebih baik daripada tidak ada akses.
Untuk daring, saya menyukai cara
belajar yang menghadirkan narasumber secara live, seperti cara belajar
di kelas Bunda Cekatan saat ini. Memperhatikan gesture, mimik muka
adalah hal penting bagi saya, karena dengan demikian saya mengetahui penekanan
ada di bagian mana saja. Kesempatan mengajukan pertanyaan dan berdiskusi juga
memancing saya untuk mengoptimalkan diri dalam menyerap dan mengolah informasi.
Karena untuk bisa mengajukan pertanyaan yang berbobot dan aktif berdiskusi,
saya perlu memiiki pemahaman yang baik akan materi tersebut.
Bagaimana jika menggunakan teks? Untuk
belajar melalui teks, saya memilih untuk belajar melalui buku. Saat belajar
melalui teks, saya membutuhkan informasi yang lengkap dan mendetail untuk
mendapatkan ilmu yang utuh, tidak terpotong-potong.
Saat menyimak pemaparan dari
guru, akan optimal bagi saya jika saya membuat catatan-catatan penting.
Biasanya jika menyimak materi dan diskusi kelas Bunda Cekatan, HP saya gunakan
untuk menyimak Facebook live sedangkan jemari saya mengetik di laptop
atau menulis di buku catatan. Hal-hal yang terkait penggalian diri, misal bu
Septi mencotohkan kebiasaan beliau mengikuti kuliah umum di UI, saat itu juga saya
menuliskan pengalaman serupa supaya tidak terlupa seperti misalnya mengikuti workshop
guru TK bersama Ayah Edy dengan membawa dua anak, mengikuti kuliah umum
mahasiswa Psikologi Universitas Darul Ulum bertema Permainan juga bersama
anak-anak. Kemudian saya juga mencatat praktik baik apa yang bisa langsung saya
mulai begitu sesi belajar selesai.
Jika materi berlanjut dengan
tugas,maka saya mencatat poin-poin penting yang harus saya kerjakan di buku
catatan kecil, yang kemudian menjadi kata kunci untuk menemukan ide. Seperti misalnya
di telur oranye ini, saya memikirkan perihal ilmu vs keterampilan. Setelah
terjawab, beralih ke ilmu-ilmu mana saja yang diprioritaskan untuk dikuasai
untuk keterampilan manajemen pikiran. Menggali-gali, tantangan apa saja yang
sering saya temui? Apa pencetusnya? Bagaimana strategi ke depan?
Jika belajar dengan cara membaca
buku, biasanya saya menyiapkan post it (jika bukunya pinjam dari
perpustakaan atau teman) atau spidol warna untuk menandai bagian penting. Kemudian
menyalin poin-poin itu ke buku yang saya beri judul jurnal belajar dengan
bahasa sendiri. Pada intinya saya perlu mengulang-ulang materi yang sudah
tersampaikan untuk semakin meningkatkan pemahaman akan materi tersebut.
Demikian releksi diri saya mengenai
cara belajar di telur oranye ini. Semoga Alah tuntun senantiasa pada pemahaman
yan benar dan lurus. Aamiin…
Wina, 7 Januari 2020
Comments
Post a Comment