Memasuki materi 11 kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional, kami belajar mengenai pentingnya membangkitkan fitrah seksualitas anak. Materi ini kami sambut dengan cara belajar yang berbeda dari biasanya. Kali ini di kelas fasilitator, kami sebagai peserta diminta untuk learning by teaching dengan cara melakukan diskusi kelompok dan presentasi serta membuat media edukasi.
Unik? Ya
Susah? Ya
Ribet? Ya
Menyerah? Tidak
Sejenak kita menilik ke belakang, saat masih muda, hahaha… Kalau kita ditanya, masa-masa apa yang paling mengesankan saat kuliah? Mayoritas jawabannya bisa jadi adalah saat begadang mengerjakan laporan praktikum, atau saat tidak sempat mandi karena menyelesaikan tugas yang belum juga selesai di detik-detik terakhir batas pengumpulan. Masa-masa yang pada masanya dirasa sulit, justru menjadi pengalaman berkesan saat berhasil terlewati. Ya, situasi genting seringkali membawa kita melampaui ambang batas kemampuan diri. Menegangkan, memicu adrenalin, tapi memunculkan kegembiraan setelahnya. Yap, itulah tantangan.
Cara belajar di materi 11 ini jelas menjadi sebuah tantangan bagi kami. Dan hari ini, kelompok pertama di kelas fasilitator Bunda Sayang batch #1 telah menjawab tantangan tersebut dengan amat jitu. Kelompok yang beranggotakan 4 orang ibu yang berdomisili di tempat yang berbeda yaitu, Luthfia di Bandung; Diah Soehadi di Jakarta; Anna Andriani di Jepang; Firsta di Bogor, berhasil berkolaborasi menyajikan sebuah materi yang apik dan menyeluruh. Pas sekali untuk mengawali presentasi-presentasi ke depan.
Mengambil judul Pentingnya Membangkitkan Fitrah Seksualitas pada Anak, kelompok ini menyajikan materi layaknya presentasi di dunia nyata. Masing-masing orang menempati posisi kerjanya masing-masing. Moderator, presenter materi, penjawab pertanyaan hingga pembuat media edukasi telah ada penanggungjawabnya masing-masing. Tak perlu menunggu lama, moderator segera mengambil alih kelas dan membuka ruang diskusi dengan cekatan. Usai pembukaan, presenter segera menampilkan bahan diskusi yang tersaji dengan visualisasi yang menarik, konten materi selalu dilengkapi dengan gambar juga infografis untuk memudahkan pemahaman.
Poin materi yang dikupas antara lain :
1. Definisi dan peran gender
2. Pembagian peran gender
3. Penyimpangan dan fenomena yang terjadi di masyarakat
4. Solusi yang ditawarkan : membangkitkan fitrah seksualitas
5. Media edukasi sebagai kontribusi nyata
Secara umum, saat kita berbicara mengenai gender, tergambar jelas perbedaan fisik laki-laki dan perempuan juga peran yang mengikutinya. Seiring berkembangnya budaya masyarakat, peran gender seringkali dikaitkan dengan kekuatan laki-laki dan kekurangberdayaannya perempuan. Kekeliruan yang berkelanjutan membentuk sebuah pola pikir yang diwariskan turun temurun sehingga penyimpangan terjadi di banyak lini. Sebagai contoh, kasus kekerasan para perempuan seringkali terjadi karena anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tak berdaya. Kejadian ini membuat perempuan merasa perlu menunjukkan eksistensinya dengan menyaingi laki-laki untuk membuktikan bahwa perempuan adalah pihak yang juga dapat berdaya. Perempuan mengesampingkan peran gendernya, fitrah seksualitasnya sehingga sisi maskulinitas lebih mendominasi. Alhasil, perempuan sibuk berkarya di publik, namun keluarga dan anak-anaknya haus belaian dan rindu kelembutan seorang ibu. Terjadi ketimpangan dalam keluarganya.
Pun dalam keluarga, seorang pria yang kurang memahami peran gendernya sebagai seorang kepala keluarga, akan sibuk dengan aktivitas mencari nafkah tanpa mau turun tangan dalam urusan rumah tangga. Sang pria menganggap bahwa urusan anak-anak dan rumah tangga adalah sepenuhnya urusan istri. Padahal peran ayah dalam pengasuhan anak sangat berperan dalam membentuk sisi maskulin, jiwa kepemimpinan, pola pikir yang logis dan sistematis dan masih banyak lainnya.
Setelah akar masalahnya teridentifikasi, langkah berikutnya adalah bergerak membuat sebuah solusi. Kelompok ini merumuskan bahwa solusi dan permasalahan yang ada dalam masyarakat adalah diawali dari keluarga sebagai sebuah unit terkecil. Orangtua kembali pada peran idealnya yaitu sebagai pendidik utama dan pertama untuk anak-anak. Maka, membangkitkan fitrah anak seperti fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar pun juga fitrah seksualitas adalah sebuah tanggungjawab yang perlu ditunaikan oleh para orangtua.
Hal ini tentu bukan hal yang mudah. Membutuhkan sebuah komitmen tinggi dan kerjasama yang kontinyu. Pesan moral paling mengena yang saya tangkap dalam diskusi kelompok 1 adalah saat ada studi kasus, bagaimana jika seorang anak berada dalam sebuah keluarga yang tidak utuh? Bukankah kondisi tersebut bukan pilihan anak?
Peribahasa Afrika yang berbunyi It takes a village to raise a child yang kurang lebih artinya, perlu orang sekampung untuk mendidik anak, tentu sudah tidak asing di telinga.
Mendidik anak kita saja untuk menjadi baik tentu tidak cukup, karena anak kita akan berinteraksi dengan anak tetangga, anak kita juga akan bersosialisasi dengan teman-teman bermainnya. Maka, kita perlu mendidik anak-anak lain untuk baik juga supaya anak kita dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif. Keluarga kita perlu bersinergi dengan keluarga lainnya untuk mewujudkan visi bersama.
Anak yang berada dalam sebuah keluarga yang tidak utuh, pun memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, jika ayah atau ibu kandungnya tidak ada, maka perlu ada sosok pengganti yang akan menghadirkan peran ayah atau ibu untuk diri anak tersebut. Bisa dari keluarga terdekat atau bahkan perangkat di lingkungan setempat. Tersemainya fitrah seksualitas anak dengan benar, menjadi tanggungjawab bersama.
Untuk memudahkan pemahaman, kelompok ini membuat video berdurasi 2 menit 46 detik sebagai media edukasi agar para orangtua semakin memahami fitrah seksualitas dengan benar sehingga dapat membersamai anak-anak semakin baik lagi. Video ini bisa disimak di http://bit.ly/MediaEdukasi1Fasilnas
Harapan ke depan, video ini akan disaksikan oleh semakin banyak orang dan keluarga sehingga semakin banyak pihak yang terpahamkan bagaimana fitrah seksualitas dan betapa pentingnya membangkitkan fitrah seksualitas anak.
#Tantangan10Hari
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#MembangkitkanFitrahSeksualitasAnak
Unik? Ya
Susah? Ya
Ribet? Ya
Menyerah? Tidak
Sejenak kita menilik ke belakang, saat masih muda, hahaha… Kalau kita ditanya, masa-masa apa yang paling mengesankan saat kuliah? Mayoritas jawabannya bisa jadi adalah saat begadang mengerjakan laporan praktikum, atau saat tidak sempat mandi karena menyelesaikan tugas yang belum juga selesai di detik-detik terakhir batas pengumpulan. Masa-masa yang pada masanya dirasa sulit, justru menjadi pengalaman berkesan saat berhasil terlewati. Ya, situasi genting seringkali membawa kita melampaui ambang batas kemampuan diri. Menegangkan, memicu adrenalin, tapi memunculkan kegembiraan setelahnya. Yap, itulah tantangan.
Cara belajar di materi 11 ini jelas menjadi sebuah tantangan bagi kami. Dan hari ini, kelompok pertama di kelas fasilitator Bunda Sayang batch #1 telah menjawab tantangan tersebut dengan amat jitu. Kelompok yang beranggotakan 4 orang ibu yang berdomisili di tempat yang berbeda yaitu, Luthfia di Bandung; Diah Soehadi di Jakarta; Anna Andriani di Jepang; Firsta di Bogor, berhasil berkolaborasi menyajikan sebuah materi yang apik dan menyeluruh. Pas sekali untuk mengawali presentasi-presentasi ke depan.
Mengambil judul Pentingnya Membangkitkan Fitrah Seksualitas pada Anak, kelompok ini menyajikan materi layaknya presentasi di dunia nyata. Masing-masing orang menempati posisi kerjanya masing-masing. Moderator, presenter materi, penjawab pertanyaan hingga pembuat media edukasi telah ada penanggungjawabnya masing-masing. Tak perlu menunggu lama, moderator segera mengambil alih kelas dan membuka ruang diskusi dengan cekatan. Usai pembukaan, presenter segera menampilkan bahan diskusi yang tersaji dengan visualisasi yang menarik, konten materi selalu dilengkapi dengan gambar juga infografis untuk memudahkan pemahaman.
Poin materi yang dikupas antara lain :
1. Definisi dan peran gender
2. Pembagian peran gender
3. Penyimpangan dan fenomena yang terjadi di masyarakat
4. Solusi yang ditawarkan : membangkitkan fitrah seksualitas
5. Media edukasi sebagai kontribusi nyata
Secara umum, saat kita berbicara mengenai gender, tergambar jelas perbedaan fisik laki-laki dan perempuan juga peran yang mengikutinya. Seiring berkembangnya budaya masyarakat, peran gender seringkali dikaitkan dengan kekuatan laki-laki dan kekurangberdayaannya perempuan. Kekeliruan yang berkelanjutan membentuk sebuah pola pikir yang diwariskan turun temurun sehingga penyimpangan terjadi di banyak lini. Sebagai contoh, kasus kekerasan para perempuan seringkali terjadi karena anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tak berdaya. Kejadian ini membuat perempuan merasa perlu menunjukkan eksistensinya dengan menyaingi laki-laki untuk membuktikan bahwa perempuan adalah pihak yang juga dapat berdaya. Perempuan mengesampingkan peran gendernya, fitrah seksualitasnya sehingga sisi maskulinitas lebih mendominasi. Alhasil, perempuan sibuk berkarya di publik, namun keluarga dan anak-anaknya haus belaian dan rindu kelembutan seorang ibu. Terjadi ketimpangan dalam keluarganya.
Pun dalam keluarga, seorang pria yang kurang memahami peran gendernya sebagai seorang kepala keluarga, akan sibuk dengan aktivitas mencari nafkah tanpa mau turun tangan dalam urusan rumah tangga. Sang pria menganggap bahwa urusan anak-anak dan rumah tangga adalah sepenuhnya urusan istri. Padahal peran ayah dalam pengasuhan anak sangat berperan dalam membentuk sisi maskulin, jiwa kepemimpinan, pola pikir yang logis dan sistematis dan masih banyak lainnya.
Setelah akar masalahnya teridentifikasi, langkah berikutnya adalah bergerak membuat sebuah solusi. Kelompok ini merumuskan bahwa solusi dan permasalahan yang ada dalam masyarakat adalah diawali dari keluarga sebagai sebuah unit terkecil. Orangtua kembali pada peran idealnya yaitu sebagai pendidik utama dan pertama untuk anak-anak. Maka, membangkitkan fitrah anak seperti fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar pun juga fitrah seksualitas adalah sebuah tanggungjawab yang perlu ditunaikan oleh para orangtua.
Hal ini tentu bukan hal yang mudah. Membutuhkan sebuah komitmen tinggi dan kerjasama yang kontinyu. Pesan moral paling mengena yang saya tangkap dalam diskusi kelompok 1 adalah saat ada studi kasus, bagaimana jika seorang anak berada dalam sebuah keluarga yang tidak utuh? Bukankah kondisi tersebut bukan pilihan anak?
Peribahasa Afrika yang berbunyi It takes a village to raise a child yang kurang lebih artinya, perlu orang sekampung untuk mendidik anak, tentu sudah tidak asing di telinga.
Mendidik anak kita saja untuk menjadi baik tentu tidak cukup, karena anak kita akan berinteraksi dengan anak tetangga, anak kita juga akan bersosialisasi dengan teman-teman bermainnya. Maka, kita perlu mendidik anak-anak lain untuk baik juga supaya anak kita dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif. Keluarga kita perlu bersinergi dengan keluarga lainnya untuk mewujudkan visi bersama.
Anak yang berada dalam sebuah keluarga yang tidak utuh, pun memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, jika ayah atau ibu kandungnya tidak ada, maka perlu ada sosok pengganti yang akan menghadirkan peran ayah atau ibu untuk diri anak tersebut. Bisa dari keluarga terdekat atau bahkan perangkat di lingkungan setempat. Tersemainya fitrah seksualitas anak dengan benar, menjadi tanggungjawab bersama.
Untuk memudahkan pemahaman, kelompok ini membuat video berdurasi 2 menit 46 detik sebagai media edukasi agar para orangtua semakin memahami fitrah seksualitas dengan benar sehingga dapat membersamai anak-anak semakin baik lagi. Video ini bisa disimak di http://bit.ly/MediaEdukasi1Fasilnas
Harapan ke depan, video ini akan disaksikan oleh semakin banyak orang dan keluarga sehingga semakin banyak pihak yang terpahamkan bagaimana fitrah seksualitas dan betapa pentingnya membangkitkan fitrah seksualitas anak.
#Tantangan10Hari
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#MembangkitkanFitrahSeksualitasAnak
Comments
Post a Comment