“Ayo Mi, masukkan mainannya ke tas.
Bukunya Ummi juga.”
“Ayo dibawa tasnya, HPnya juga, semua
dibawa Mi.”
“Ayo pulang Mi, dede Ica mau pakai
sepatu.”
Itulah beberapa permintaan yang
terdengar jika ia merasa tidak nyaman di tempat indoor yang baru
dimasukinya. Apalagi jika tidak ada anak kecil yang bisa diajak bermain
bersama. Ia merengek sembari menarik-narik jilbab, memintaku mengabulkan
keinginannya. Tas, gendongan, jilbabnya dan seluruh barang bawaan kami, ia
ambil hanya dengan kedua tangannya. Kuatkah? Tentu tidak. Ia menyeret
barang-barang itu sembari berjalan sempoyongan. Menyerahkan gendongan dan tas
padaku, memintaku segera memasang gendongan dan segera menggendongnya.
Menggendong si anak kecil yang sibuk membawa barang-barang miliknya. Buku dan
jilbab dipegang dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya sibuk
menjumput mainan. Jika kutawarkan padanya untuk memasukkan barang-barang
tersebut ke dalam tas, ia pasti akan langsung menolak. Daripada memaksa,
kubiarkan saja ia membawa sampai capek dan bosan.
Awalnya diriku sempat geli dan kesal
melihat tingkahnya.
“Mengapa ia menyusahkan diri
sendiri dengan membawa semua barang-barangnya?”
“Mengapa ia
bersikukuh membawa semua barang miliknya, meski tangan tak lagi sanggup
menampungnya?”
“Mengapa ia
menolak untuk meninggalkan salah satu diantaranya? Toh barang tersebut masih
dalam jarak pandangnya.”
Beberapa pertanyaan bermunculan di
pikiranku. Hal apa yang sekiranya melatarbelakangi sikap Raysa?
Pertanyaan itu baru terjawab beberapa
waktu kemudian. Jawaban yang tiba-tiba kudapatkan saat aku sedang menjalankan
pekerjaan domestik. Jawaban yang membuatku senyum-senyum sendiri saat
menyadarinya. Ya, Raysa bersikap demikian karena,
AKU
Bagaimana bisa?
Ternyata ia sudah bisa menangkap dan
mengadaptasi pola sikap yang kumiliki. Ya, diri ini memang mudah hilang fokus. Keuletanku untuk menyelesaikan pekerjaan hingga
tuntas, tak sebesar semangatku saat menerima tantangan. Berkeinginan mengambil semua
kesempatan, padahal diri tak sanggup lagi menambah beban. Bukankah ini sama
dengan sikap yang ditunjukkan oleh Raysa terhadap barang-barangnya?
Melalui anak, Allah memberikan peringatan untuk lebih fokus terhadap target yang sudah dicanangkan sebelumnya. Tidak tengok kanan-kiri dulu ataupun menambah target baru. Menguatkan diri untuk berkata, "Ini memang menarik, tapi kami belum tertarik."
Menjalankan sesuatu hingga tuntas dan dapat menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan baik. Bukankah kebiasaanlah yang akan membentuk karakter diri?
Melalui anak, Allah memberikan peringatan untuk lebih fokus terhadap target yang sudah dicanangkan sebelumnya. Tidak tengok kanan-kiri dulu ataupun menambah target baru. Menguatkan diri untuk berkata, "Ini memang menarik, tapi kami belum tertarik."
Menjalankan sesuatu hingga tuntas dan dapat menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan baik. Bukankah kebiasaanlah yang akan membentuk karakter diri?
Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang
kontinu walaupun itu sedikit.” HR. Muslim.
Comments
Post a Comment