Webinar Homeschooling sesi kedua yang diadakan Rumah
Inspirasi ini membahas mengenai Model dan Legalitas Homeschooling.
Model homeschooling merupakan hal yang cukup penting
dipahami oleh pelaku maupun calon pelaku homeschooling, dengan tujuan
untuk membuka cakrawala akan keberagaman model belajar. Terlebih di dalam dunia
pendidikan, terdapat sudut pandang yang juga beragam. Baik sudut pandang
terhadap anak, sudut pandang terhadap cara belajar yang tepat untuk anak, sudut
pandang terhadap minat bakat anak, sudut pandang terhadap tujuan pendidikan dan
lain sebagainya.
Secara umum, model homeschooling terbagi menjadi dua
jenis. Keduanya sangat berbeda, baik secara konsep maupun praktik.
Yang
pertama,
SCHOOL AT HOME
Model School at Home ini bisa diibaratkan seperti
memindahkan sekolah ke rumah. Sekolah digunakannya sebagai model utama,
sehingga modul yang digunakan juga berupa textbook atau buku pelajaran
pada umumnya, dilakukan secara berjenjang dari K-1 hingga K-12, menggunakan
kurikulum, serta ada evaluasi secara periodik dan menggunakan metode pengajaran
teacher-centered.
Mengkondisikan rumah menjadi seperti sekolah bukanlah
perkara yang mudah, apalagi orangtua juga bukanlah guru semua mata pelajaran.
Ditambah dengan adanya evaluasi periodik yang membuat anak cenderung belajar
untuk lulus ujian (learn for test) akan membuat model ini menjadi tantangan
tersendiri bagi keluarga yang menjalaninya. Agar dapat menjalaninya dengan
nyaman, kita dapat melakukan beberapa inovasi seperti mengambil perspektif jangka
panjang, bersikap lebih fleksibel dalam proses belajar, menggunakan model
belajar modular maupun memperkaya materi dan cara belajar dengan cara magang,
membuat projek dan sebagainya.
Yang
kedua,
UNSCHOOLING
Di model ini, anak diperlakukan sebagai sosok individu. Jangan
bertanya mengenai kurikulum, jadwal maupun hal-hal yang bersifat terstruktur
pada pelaku unschooling ini, karena mereka belajar secara natural.
Mungkin ada beberapa pelaku unschooling yang memiliki jadwal maupun
kurikulum, namun itu hanya sebagai pelengkap saja. Mereka lebih mengedepankan
proses belajar melalui kegiatan alami di dunia nyata dengan melihat
potensi/kebutuhan anak. Proses ini minim intervensi, orangtua lebih fokus untuk
membangun koneksi dengan anak-anaknya.
Para pelaku unschooling percaya bahwa anak bukanlah kertas kosong.
Dengan demikian, mereka menyediakan lingkungan belajar yang kaya stimulus dan
memperkaya proses yang dijalani oleh anak. Orangtua berperan sebagai
fasilitator yang mengarahkan anak untuk berkembang sesuai fitrahnya.
Contoh UNSCHOOLING
Masih ingat dengan Andri Rizki Putra, pemuda yang berani
melawan kecurangan di sekolahnya? Penulis buku “Orang Jujur Tidak Sekolah” ini
hanya 1 bulan mengenyam bangku SMA formal, selanjutnya lebih memilih untuk
keluar dari sekolah dan menempuh pendidikan yng sering ia sebut sebagai unschooling. Kemudian
dengan berbekal ijazah kesetaraan paket C, Rizki masuk ke Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude. Dalam dunia homeschooling, langkah Andri ini biasa disebut dengan deschooling. Ya, berhenti dari persekolahan dan melanjutkan pendidikannya di rumah secara mandiri.
Bagaimana Andri menjalani unschoolingnya?
Mengutip wawancara dari sini, Andri belajar secara
otodidak. Dia bahkan tak pernah membeli buku cetak sama sekali. Sebagai
gantinya, ia meminjam buku bekas milik saudara, teman dan senior. Semua buku ia
terima. Namanya buku bekas, kurikulumnya tentu berbeda dengan kurikulum saat
ini. Namun itu bukan masalah baginya. Ujarnya, “Entah kurikulumnya berganti,
buku cetaknya berganti, toh 1+1 tetap hasilnya 2 kan di berbagai buku?”
Andri belajar dengan meringkas. Ia membaca secara skimming
seluruh buku tersebut mulai dari buku kelas 1 hingga kelas 3 SMA, kemudian ia
tandai bagian mana saja yang relevan untuk Ujian Nasional. Setelah terkumpul,
ia mengetik materi tersebut satu persatu hingga menjadi ringkasan yang siap ia
pelajari. Tak tanggung-tanggung, seluruh dinding kamarnya ia tempeli materi
hingga ke pintu-pintu. Cara ini memudahkannya untuk belajar setiap saat.
Kemudian, ia tetapkan uji coba berkala untuk mengukur
kemampuan secara mandiri. Ia membuat simulasi sendiri dalam mengerjakan uji
coba. Dalam hal ini, ia melakukannya sama seperti yang dilakukan oleh sekolah,
hanya saja ia memonitor perkembangan belajarnya secara mandiri. Ia tidak pernah
terpaku oleh kurikulum dan bahkan tidak mengerti tujuan dari berbagai kurikulum
tersebut. Ia belajar sesuai keinginannya.
Hambatan yang ia rasakan dalam menjalani unschooling adalah
“mengalahkan diri sendiri”. Ia harus benar-benar disiplin dan bertanggungjawab
atas pengaturan waktu belajar dan sistem pembelajaran yang ia rencakan sendiri.
Konsekuensi lainnya dari belajar secara otodidak adalah ia harus memecahkan
masalah secara mandiri. Keharusan memahami materi pelajaran sendiri nyaris
membuatnya sangat tertekan dan depresi, namun atas ijin Allah dan dengan daya
juang yang tinggi, ia dapat keluar dari permasalahan tersebut.
Keuntungan yang ia rasakan dalam menjalani unschooling, ia
menjadi lebih kritis, bahkan sangat kritis. Dari kebiasaannya meringkas buku,
ia dapat mengukur kualitas materi buku tersebut. Ia tidak mau menerima konten
buku begitu saja tanpa mencari lebih lanjut kebenaran teori dan praktiknya.
Maka, dalam ringkasan yang ia buat, ia juga tambahkan opini-opini pribadi atas
materi yang dituangkan tersebut.
Yang
lainnya,
MODEL KLASIKAL
Model ini mengacu pada pendidikan yang menjadi akar
peradaban modern Eropa, yaitu abad pertengahan Yunani. Model ini sangat
menekankan studi literatur, sejarah, aktivitas intelektual yang terstruktur dan
disiplin. Model ini membangun pendidikan dasar dengan penekanan pada penguasaan
bahasa, logika dan retorika.
CHARLOTTE MASON
Beberapa gagasan Charlotte Mason yang menjadi inspirasi homeschooling
antara lain living books, narasi dan habit training.
MONTESSORI
Beberapa gagasan pendidikan Montessori yang menjadi
inspirasi homeschooling antara lain fokus kepada anak, lingkungan
belajar yang terkendali, belajar dari hal nyata hingga abstrak dan belajar
berkelompok lintas usia.
EKLEKTIK
Model Eklektik ini menggunakan prinsip mix and match sesuai kebutuhan dan kondisi keluarga. Model
ini tidak mengikuti aliran tertentu secara ketat, namun menyerap dan memadukan
berbagai pemikiran dan aliran yang disesuaikan dengan visi pendidikan keluarga.
Sebuah Catatan Pengingat, mengenai Tanggung Jawab Mendidik Anak
At Tahrim ayat 6
Dari Ibnul Qayyim al-Jauziyah,
“Barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang
bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti ia telah
melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak
kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak
mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya. Para
orangtua itu melalaikan mereka di waktu kecil, sehingga mereka tidak sanggup
menjadi orang yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan tidak dapat memberi
manfaat kepada orangtua mereka. Ada sebagian orangtua yang mencela anaknya
karena telah bersikap durhaka. Sang anak membantah, “Wahai Bapakku, engkau
sendiri telah mendurhakaiku di masa aku kecil, maka sekarang aku mendurhakaimu
setelah engkau tua. Sewaktu aku kecil engkau melalaikanku, maka sekarang aku
pun melalaikanmu di masa tuamu.””
Dalam buku Prophetic Parenting, dijelaskan tanggung
jawab mendidik anak adalah sebuah kewajiban bagi orangtua. Pendidikan adalah
hak anak atas kedua orangtuanya. Perlu ada usaha dan kerja keras secara terus
menerus dalam mendidik anak, memperbaiki kesalahan mereka dan membiasakan
mereka mengerjakan kebajikan. Mengajak anak-anak untuk beriman, dan beribadah
kepada Allah semata.
Berangkat dari amanah yang Allah embankan inilah, kami menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama dan pertama. Termasuk dalam memilih model homeschooling kelak.
Kami juga mendapatkan referensi framework berbasis fitrah dan akhlak dari ust. Harry Santosa yang kami dapatkan dari grup WA Home Education berbasis Potensi dan Akhlak.
Comments
Post a Comment