Apa yang dipelajari di dalam webinar #1 ini?
Karena model pendidikan adalah sebuah pilihan, maka saat Raysa (17 bulan) nanti sudah berada di usia sekolah, kami akan menawarkan padanya untuk sekolah di lembaga sekolah atau di rumah. Dan jika kelak dia memilih untuk sekolah di rumah, sanggupkah kami memfasilitasinya? Kami tidak dapat menjawabnya sekarang, tapi saat ini kami berupaya mempersiapkan perbekalan untuk dapat menjawab tantangan itu kelak.
“Setiap tempat adalah perguruan dan setiap orang adalah guru.” Ki Hajar Dewantara
Setelah mengikuti webinar Basic Homeschooling minggu lalu, kami mencoba merefleksikannya sebagai tantangan bagi orangtua. Kami merangkumnya dalam 3 poin di bawah ini :
1. Membangun Karakter Perintis
Homeschooling merupakan sebuah model pendidikan alternatif. Sehingga jika kita menjalankannya, maka kita harus memiliki mental sebagai perintis atau anti mainstream. Perasaan “berbeda dengan orang lain” harus menjadi suatu hal yang nyaman bagi diri kita. Tidak merasa minder karena tidak menyekolahkan anak-anak, dan tidak sombong karena merasa memiliki anak-anak yang lebih baik daripada anak yang bersekolah pada umumnya.
Pemikiran out of the box juga harus kita miliki jika ingin melakukan homeschooling. Karena dalam homeschooling segala sesuatu boleh dipertanyakan, maka kita harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan yang “tidak biasa” dari anak-anak kita. Bersama-sama mencari esensi dari setiap pembelajaran, dan menemukan yang terbaik dari setiap pilihan.
Karakter perintis, berbeda dengan orang lain, berkaitan erat dengan rasa percaya diri. Kepercayaan diri itu menular. Maka orangtua harus percaya diri terlebih dahulu, kemudian dapat menularkannya pada anak-anak. Bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri orangtua? Salah satunya dengan mempersiapkan perbekalan seoptimal mungkin.
2. Berkomitmen untuk belajar tanpa henti
“Ummi, Ini apa? Itu apa? Kalo ini apa? Itu apa?”
“Kenapa, mi? Kenapa ga boleh? Koq bisa gitu?”
Saat memasak, tiba-tiba anak datang dengan rentetan pertanyaan tak berujung sembari bergelayut di kaki kita. Saat mencuci, sang anak datang, memainkan air sabun dan memindahkan cucian satu demi satu ke ember yang lain. Saat menyetrika, anak datang dan berusaha memindahkan pakaian-pakaian rapi itu ke lemari. Pakaian rapi pun menjadi lusuh kembali. Kerjaan belum beres, dihujani pertanyaan-pertanyaan aneh dan sulit, ditambah anak meminta perhatian. Kompleks, ya? Bagaimana cara menghadapi dengan tepat?
Dibutuhkan pengelolaan emosi yang baik dan wawasan luas untuk dapat menghadapi perilaku anak dan memberikan jawaban dengan tepat. Itulah mengapa, dalam homeschooling, orangtua harus memiliki jiwa pembelajar yang tinggi. Belajar apa? Bukan mata pelajaran seperti kimia, sejarah maupun matematika, supaya dapat menggantikan peran guru sekolah. Tapi belajar ilmu aqidah, ilmu parenting dan turunannya sebagai modal untuk menggali dan mengeluarkan fitrah baik anak. Poin ini mengingatkan saya akan konsep yang dikemukakan oleh Bpk. Harry Santosa dalam grup Home Education berbasis Potensi dan Akhlak, bahwa tugas mendidik bukan menjejali OUTSIDE IN,tetapi INSIDE OUT, yaitu menemani anak-anak menggali dan menemukan fitrah-fitrah baiknya sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya (insan kamil) tepat ketika mencapai usia aqil baligh.
Belajar tanpa henti ini juga meliputi sebuah komitmen yang telah disepakati bersama dan konsistensi dalam menjalankan proses. Jika salah satu anggota jenuh, anggota yang lain akan mencari cara dan strategi untuk memantik semangatnya. Dalam homeschooling, masing-masing anggota keluarga tumbuh menjadi individu yang kuat dan menguatkan.
Belajar untuk lentur dalam proses akan berkaitan dengan resiko yang akan kita hadapi saat memilih homeschooling. Sikap ini akan membantu kita saat dihadapkan dengan ketidakpastian dan minimnya infrastruktur dalam pembelajaran.
3. Bertanggungjawab sepenuhnya
Dalam homeschooling orang tua tidak mendelegasikan tanggungjawab pendidikan ke sistem ataupun lembaga tertentu, tapi memikulnya sendiri. Semata-mata agar potensi unggul anak dapat tumbuh dengan baik. Tentu saja hal ini membuat orangtua dihadapkan pada sebuah kompleksitas, karena banyak hal yang perlu dirancang sebelum memulai homeschooling. Ingat, homeschooling adalah pendidikan berbasis keluarga, maka penguatan keluarga adalah sebuah pijakan penting sebelum memulai langkah.
Karena berangkat dari visi misi keluarga, tak heran jika homeschooling dalam setiap keluarga amat beragam dan memiliki keunikan tersendiri. Layaknya sebuah tim, setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Meminjam istilah dari Bu Septi Peni, start from the finish line. Tetapkan tujuan, baru kemudian susun langkah pencapaian. Langkah pencapaian ini sangat variatif, sarat dengan hal-hal baru. Kata kunci dalam homeschooling adalah BOLEH, bukan HARUS. Boleh mencari ijazah, boleh tidak. Boleh menggunakan kurikulum, boleh tidak. Boleh belajar di rumah, sambil berjalan-jalan ataupun dengan mengutak-atik sesuatu. Semua boleh asal dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan tujuan bersama.
Demikian catatan kecil kami dari webinar sesi 1 lalu. Sebuah catatan pengingat bagi kami untuk memiliki karakter sebagai pembelajar mandiri. Masih ada 9 sesi ke depan yang akan kami pelajari dan diskusikan bersama.
Sebagai penutup catatan, sekaligus semangat pembuka untuk mengikuti webinar homeschooling nanti malam, berikut lirik lagu “Belajar Dimana Saja” karya mba Lala
Aku senang belajar bersama ibuku
Aku senang belajar bersama ayahku
Aku senang belajar bersama kakakku
Aku senang belajar bersama adikku
Dimana saja… kapan saja…
Bersama siapa saja aku belajar…
Dimana saja… kapan saja…
Bersama siapa saja aku belajar…
Comments
Post a Comment